Cerita pendek
Burung berkicau matahari memamerkan keindahannya, aku bergegas menuju ke sekolah. Istirahat pun tiba kakak kelas osis sosialisasi di kelas kelas tentang memilih ekstrakulikuler apa yang diminati tidak ketinggalan kelasku pun didatangi. Aku duduk di kelas X-IPA 2 disekolah swasta tepatnya di daerah yang banyak santri. Aku juga dibesarkan di keluarga yang sederhana, orangtuaku sudah tua aku anak terakhir, kedua kakak perempuanku sudah berumah tangga tinggal aku yang masih gadis.
“Kamu milih ekstrakulikuler apa sa?” tanya vitta teman sebangkuku
“Bahasa inggris, komputer, sama pencak silat”
“Emangnya kamu diizinin ortu untuk pencak silat? bukannya kamu pernah cerita kalau orangtuamu tidak mengizikan?” tanyanya
“Eh iya ya aku lupa tapi aku pengen ikut vit” keluhku
“Kamu tanya ke kakak kelas OSIS aja, lembar kertas ini bisa dibawa pulang atau tidak” sarannya
Kumasukkan selembar kertas itu ke dalam tas, diizinkan dibawa pulang asal besok dikumpulkan. Semangat untukku pulang pun bergairah, buru-buru aku naik bus jurusan rumahku. Sesampai di rumah aku mengucapkan salam setelah itu aku meneguk segelas air putih agar dahagaku lebih berkurang.
“Bu ibu di mana?” teriakku celingkukan
“Ibu lagi di belakang sa” teriak ibuku tak mau kalah
Aku menghampiri ibuku di belakang rumah kasih makan sapi, terus terang aku ke inti pembicaraan ke arah izin ikut ekstra pencak silat ibuku tak merestuinya. Bapak datang membawa rumput makanan sapi menghampiri kami, ibuku memberitau bapak, bapakku bilang tidak boleh. Aku merayu apapun itu serta alasan yang sangat banyak kuucapkan pada mereka namun hati kedua orangtuaku belum luluh.
Setelah makan malam aku tanya lagi ke mereka tetapi tetap saja hatinya kukuh tidak membolehkanku ikut ekstra silat. Tanpa pamit aku ngeloyor pergi menuju kamar mungilku aku menangis tersedu sedu. Kenapa aku masih belum diizinkan? Bukankah aku sudah kelas 10 dan tidak ada ujian ujian seperti ke kelas 9 dahulu? Ibu Bapak setahun lalu aku mematuhi perintah kalian untuk tidak ikut pencak silat disaat sahabat sahabatku semua ikut, hanya aku seorang diri yang tidak ikut dari mereka, sekarang mengapa kalian tidak memberiku kesempatan?
“Kalau kamu masih bersikeras ikut terserah kamu, kami hanya takut kamu kenapa kenapa” suara bapak dari balik pintu
Aku hanya diam merenung membawa sejuta air mata mengalir sampai mata terlelap. Sesudah solat subuh aku tidak membantu ibuku masak untuk sarapan pagi, aku malas. Tetapi kegiatan lainnya di pagi buta tetap kulakukan
Kunaiki tangga sekolah dengan lesunya, kakiku seperti tidak mau digerakkan menuju kelasku yang berada di lantai 3. Sudah sampai di bangku kelasku aku menundukkan kepala di atas meja
“Hay Nisa kamu kenapa?” nasron
“Gapapa” jawabku suntuk
“Gimana kamu diizinin ikut sa?”
“Hm” Ujarku tak semangat
“Ah nggak asik ah jawabnya” kesalnya kepadaku
Aku tidak menyahut ucapan Vitta aku tenggelam dalam kegelisahanku.
Seminggu setelah pengumpulan ektrakulikuler semua ekstra tlah diaktifkan. Hari Kamis ekstra pencak silat pagar nusa di sekolahku berlatih, melatih calon calon atlet muda. Pelatihnya ada yang bernama kak Alif kira kira umurnya 25-an kak Doni sekitar 30-an kak Fahrel dan kak Dika seumuran denganku. Sebelum aku berangkat pertama kali aku pamit ke ibuku doang, bapakku sedang bekerja di kebun milik tetangga, “Hati hati latihhanya” ucap ibuku
Aku manggut manggut juga tersenyum serta mencium punggung tanganya
Beberapa bulan latian ada kegiatan lomba waktu seleksi aku tidak hadir dikarenakan sakit. Setelah lomba di Kapubaten ada lomba lagi namun yang dipilih hanya peserta kemaren yang menang aku senang sekaligus ada rasa iri, seorang sahabatku segera berangkat ke Gor ternama di daerahku namanya Bila. Aku menyadari sekali bahwa tenagannya lebih besar dariku.
Terik matahari menyengat kulit para atlet silat Pagar Nusa di halaman sekolah hari ini kak Alif menimbang semua siswa yang ikut silat, berat badanku 43 kg Bila sahabatku 45 kg. Yang kepilih cuman 4 putri dan 4 putra itu pun MTs (SMP) 2 MA (SMA) 2 sekolahku memang menampung MTS dan MA pencak silat Pagar Nusa ini baru datang di sekolahku 2 tahun terakhir ini.
Kutulis semua rumus yang dicatatkan guru fisikaku, tiba tiba ada seorang siswi mengetuk pintu ternyata yang datang Bila. Dia berbicara ke bu Dona agar mengizinkanku keluar bersamanya, di luar kelas dia menjelaskan apa maksud kedatanganya menghampiriku. Aku disuruh menggantikannya untuk lomba pencak silat di Porsema tahun ini, dia tidak boleh ikut 2 lomba, dia memilih pidato bahasa inggris dengan alasan juga pihak sekolah tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada siswa yang bertanding, itu surat yang dikasih pihak sekolah sebulan lalu ketika dia lomba kemarin. Aku tau sekolahku ini memang kekurangan dana, bukankah mereka tetap harus bertanggung jawab? Memangnya jika menang apakah sekolahan tak bangga? Dia sangat tau keinginanku untuk lomba silat menurutnya ini kesempetan emas bagiku aku tak boleh menyia nyiakannya.
Hari Kamis ini aku puasa sunnah dalam rangka gurah suara (agar suara menjadi merdu biasanya digunakan untuk qori’). Dia memberitauku bahwa sore ini ada karantina di cabang pelatihku, hanya ada 8 orang yang akan dikirim sore ini untuk memantapkan mental dan fisik supaya dipertandingan nanti bisa kuat tahan banting dan pastinya menang. Aku, Bila menuju ruang koordinasi ekstrakulikuler sepanjang perjalanan aku mengomel kepada Bila, Mengapa hari ini? Mengapa pada saat aku puasa sunnah? Mengapa pada waktu aku gurah suara yang habis berbuka berpuasa lagi sampai subuh? Mengapa harus aku? Bisakah aku naikkan badan padahal 7 hari aku harus menjalani syarat syarat gurah yang dalam seminggu tidak boleh makan gorengan, minum es/minuman yang mengangandung obat obatan, makan makanan terlalu pedas dan panas? Haruskah aku pilih salah satu? atau malah keduannya? Padahal larangan larangan gurah baru selesai pada di hari H, hari dimana semua peserta porsema akan di uji. Mengapa ketika hati sudah kutata dengan niatan tulus menjalankan gurah suara kenapa disaat itulah keinginanku baru datang. Tuhan tolong hilangkan kegelisahan ini dari hatiku.
“tok tok Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam masuk”
“Ini pak yang akan menggantikan saya nanti sekaligus lombannya” ucap Bila pada pak Muin
“Em baik, berat badanmu berapa?” tanya pak Muin kepadaku
“43 pak”
“kamu menggantikan Bila di kelompok B soalnya yang A pra remaja bagi siswa Mts/SMP tolong berat badanmu dinaikkan berat badan di kelompok B 43-47 kg, bisa kan dalam 7 hari kamu naikkan badan?”
“Nganu pak..” ucapku terpotong
“Wah ya pasti bisa dong pak” sanggah Bila sambil menginjak sepatuku
“Baik, kumpulkan tanda pelajarmu sekarang biar bapak atur, lalu jam 3 nanti ke sekolahan, kita akan ke karantina di sekolah yang lebih tinggi dari sekolah ini, tenang pelatihnya ada kak Alif di sana”
“Iii ii ya pak” jawabku gugup
Keluar dari ruangan itu kutarik napas dalam dalam kemudian ku hembuskan secara perlahan, badanku serasa lesu tak perdaya melihat keputusanku yang sepihak tanpa ada persetujuan orangtua. “Semoga ketika sudah sampai rumah nanti orangtuaku mengizinkanku ikut karantina, karena ini bakalan menjadi pengalaman pertamaku” doaku dalam hati
Di rumah aku mencari ibuku untuk bilang dia mengatakan “Jika bapakkmu mengizinkan ibu juga mengizinkanmu” Kucari bapak di rumah mbak Nur rumahnya tak jauh dari rumahku bapak mengatakan “Jika ibumu mengizinkan bapak juga mengizinkanmu” Aku sedikit tertawa geli mendengar ucapan bapakku, kujelaskan sebab ku tertawa bapak malah ikut ikutan tertawa sepertiku
“Lo kamu kan puasa sa? nanti kalau buka bagaimana? nanti malam juga harus bergadang sampai subuh kan kata guru gurahmu?” tanya mba Nur kakakku yang pertama
“iya” jawabku pelan
“Bapak nggak ngizinin kamu karantina” suara bapak menghidupkan suasana
“Tapi pak..”nggak ada tapi tapian” tegasnya
“Nggak, pokoknya Nisa ikut karantina, itu keinginan Nisa selama ini, ini kesempatan Nisa mengkuti lomba pencak silat, atlet kali ini pilihan hanya 2 putri dan 2 putra. Titik Nisa harus tetap ikut karantina biar bisa ikut lomba”
“Terserah Sa kamu selau bandel dibilangin orangtua, turuti saja egomu” ujar bapak
“Permisi aku mau persiapan pak mba”
Entah apa yang dibicarakan bapak dan mba Nur setelah aku pergi dari hadapan mereka. Sebelum berangkat aku pamit ke ibu, bapakku sudah berada di samping ibuku, ketika cium tangan bapakku dia mengatakan “Sa, ibu dan bapakmu sepakat setelah kamu mengkikuti karantina dan lomba kamu harus keluar dari ekstra silat di sekolahmu kalau kamu sayang bapak dan ibumu yang sudah tua ini”
Aku memenuhi permintaanya, karena aku lebih sayang mereka. Ku berangkat diantar kakak perenpuanku, dia menungguiku sampai mobil yang membawaku meleset menjauhi pandangan siswa siwsi yang latian silat. Pada waktu aku masih duduk di balkon halaman sekolah mba Nur berada di sampingku juga bersama Andin teman silatku yang lagi beristirahat di sini. Andin berbincang bincang dengan mba Nur mengenai Rina sewaktu lomba silat perut bagian organ dalamnya sakit sehabis dipukul musuh namun pihak sekolah tidak mebanggung padahal orangtuanya sudah datang ke sekolahan. Mba Nur seketika memandangiku dengan sinisnya aku hanya bisa menunduk sambil menggerutu, jelas jelas sudah aku umpetin ke keluargaku tentang surat itu eh eh si Andin malah bocorin, dasar.
Mobil hitam berhenti di halaman sekolah negri yang akan kupakai karantina nanti. Aku, mba Lida dari MA, Fara, Isna dari MTs kita disambut dengan hangat oleh kak Alif dia mempersilahkan kami solat asar dahulu baru ikut latian. Hanya ada 4 putri yang datang dari sekolahku, 4 putranya tidak ikut dengan alasan tidak dizinin ortunya sedangkan aku? memaksa ortuku.
Suara adzan magrib berkumandang aku hanya bisa minum air putih karena jamaah akan dimulai beserta berjanjen (membaca shalawat shlawat Nabi) setelah itu kami makan kubuka bungkusan kertas minyak berisi nasi, ayam goreng, dan sambal untuk berbuka puasa sedangkan 2 temanku memesan nasi goreng dan satunya membawa bekal dari rumah, di karantina ini tidak menyiapkan makanan hanya minuman dan beberapa cemilan untuk istirahat di malam hari. Sehabis makan kuambil ramuan gurah dari dalam tasku yang harus diembunkan di hadapan langit. Ramuan itu kutaruh dalam gelas aqua bekas minumanku, Isoma telah selesai habis solat isya’ pemanasan lari, selanjutnya dilatih teknik teknik silat, wajahku pucat, perutku sakit kepalaku pusing, aku harus bertahan, pikirku. Mba Lida menawariku istirahat dulu namun aku menolaknya, istirahat pukul 22.00 WIB aku hanya bisa tersenyum melihat temanku minum dan makan makanan cemilan.
Pemadatan telah usai semua peserta disuruh tidur di aula sekolah, semua orang tertidur pulas aku hanya bisa berkelap kelip melihat pemandangan ikan pindang dijemur. Salah satu pelatih menjenguk semua orang sudah tidur apa belum aku berpura pura tidur di samping mba Lida, kakak kelasku. Malam yang dingin membawaku buang air kecil terus, mba Lida lah yang mengantarku ke KM. Sekarang mba Lida sudah merem lagi setelah mengantarku ke KM yang ke 5 kalinya. Kini mataku lengket, aku terpejam tiba tiba mba Lida bangun menepuk nepuk bahuku agar aku tidak tidur. Ternyata dia sudah tidak bisa tidur lagi setelah mengantarku tadi, aw tiba tiba lambungku sakit, mag ku kambuh, mba Lida panik dia menyuruhku aku makan tapi dia juga tau jika aku makan syarat syarat gurahku akan gagal. Tangan kiriku menekan perut tangan kananku memegang tangan mba Lida sekuat mungkin, 10 menit rasa nyeri yang menjalar di perutku serasa 10 jam aku menahannya. Adzan subuh telah memanggilku untuk mengambil ramuan yang kutaruh di depan musola sekolah, kuambil dengan mencampur kuning telur sedari tadi kujaga agar tak pecah, ah pait masam sedikit manis, ingin kumuntahkan saja ramuan itu.
Pak Muin datang membawakan sebuah sarapan, aku hanya memakan nasinya, tak ada rasa sama sekali, rasa ramuan itu masih berasa di kerongkonganku walau sudah makan nasi. Rasa kembung di perut membuatku lesu mengikuti latian di dini hari. Kami pulang jam 11.00 diantar mobil pak Muin sampai depan rumah.
7 hari telah berlalu badanku turun 3 kg, kini tinggal 40 kg yang akan membawaku tanding melawan musuh yang berat badannya lebih dariku. Ibu bapakkuu tetap khawatir, dia memberikan sejuta doa untuk anakknya.
Seperti melayang di angkasa raya, tangan kananku diangkat wasit, aku aku menang walaupun kaki kiri sedikit cedara, selintas kata kata bapakku terngiang ngiang di telingaku, menang ataupun kalah setelah lomba aku harus keluar dari ekstra itu, rasa bahagia itu kemudian menjadi sedih mendapati orangtuaku di rumah, aku benar-benar keluar dari pencak silat Pagar Nusa.
Cerpen Karangan: Nasron Fauzan
Blog sport nasron fauzan 28
Komentar